1. Keseragaman
Sistem Pajak
Hadirnya
era globalisasi yang luas telah menyebabkan perkembangan ekonomi tanpa mengenal
batas suatu negara. Dampaknya,
terdapat perusahaan-perusahaan yang berdiri pada lebih dari satu negara
(multinasional), sehingga menimbulkan masalah baru mengenai aspek perpajakan.
Hal yang paling umum, perusahaan multinasional akan
menghadapi masalah perbedaan tarif pajak yang berlaku disetiap negara
(Yuniarsi, dkk, 2014). Sebaiknya, perusahaan yang beroperasi di negara lain
melalui cabangnya menyesuaikan dengan pajak di negara tersebut. Pengelolaan
pengungkapan pajak yang efektif atas potensi pajak memerlukan adanya pemahaman
sistem-sistem pajak nasional yang sangat berbeda dari suatu negara ke negara
lain. Perbedaan berkisar dari jenis pajak dan beban pajak hingga perbedaan
dalam penilaian pajak dan filosofi penagihan.
1.1 Jenis Pajak
Yolina
(2009) mendefinisikan pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan
tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak dapat diartikan pula sebagai iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2009).
Dalam
bukunya, Resmi (2009) mengungkapkan terdapat berbagai jenis pajak yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1.
Menurut golongan
diantaranya pajak Langsung dan pajak tidak langsung.
2.
Menurut sifat
yaitu pajak subjektif dan objektif .
3.
Menurut lembaga
pemungutnya, yaitu pajak pusat (negara) dan pajak daerah.
Sebuah
perusahaan yang beroperasi di luar negeri berhadapan dengan bermacam-macam
pajak. Pajak langsung, seperti pajak penghasilan, mudah untuk dikenali dan
biasanya diungkapkan dalam laporan keuangan perusahaan. Pajak tidak langsung,
seperti pajak pemakaian, tidak terlalu mudah untuk dikenali atau tidak sering
diungkapkan. Menurut Choi dan Meek (2010)
bisanya pajak tersebut dimasukkan dalam biaya dan
pengeluaran lain-lain adalah sebagai
berikut.
1. Pajak
penghasilan perusahaan, mungkin digunakan secara lebih luas untuk menghasilkan
pendapatan bagi pemerintah dibandingkan dengan pajak utama lainnya dengan kemungkinan
pengecualian untuk bea dan cukai.
2. Pajak yang
dipungut dari sumbernya adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah terhadap
dividen, bunga, dan pembayaran royalti yang diterima oleh investor asing.
3. Pajak
pertambahan nilai merupakan pajak konsumsi yang ditemukan di Eropa dan Kanada.
Pajak ini umumnya dikenakan terhadap nilai tambah dari setiap tahap produksi
atau distribusi. Pajak ini berlaku untuk total penjualan dikurangi dengan
pembelian dari unit penjual perantara.
4.
Pajak perbatasan
seperti bea cukai dan bea impor umumnya ditujuan untuk menjaga agar barang
domestik dapat bersaing harga dengan barang impor. Dengan demikian pajak yang dikenakan
terhadap impor umumnya dilakukan secara paralel dan pajak tidak langsung
lainnya dibayarkan oleh produsen domestik barang yang sejenis.
5. Pajak pengiriman
merupakan contoh lain pajak tidak langsung lainnya. Pajak ini dikenakan
terhadap pengalihan (transfer) objek antar pembayar pajak dan dapat menimbulkan
pengaruh yang penting terhadap keputusan bisnis seperti struktur akuisisi.
1.2
Beban Pajak
Menurut
Lingga (2012) ditinjau dari perspektif perpajakan internasional, suatu
perusahaan multinasional akan berusaha meminimalkan beban pajak global mereka,
dengan cara memanfaatkan ketiadaan ketentuan perpajakan suatu negara yang tidak
mengatur ketentuan anti penghindaran pajak (anti tax avoidance) atau mengaturnya tetapi tidak memadai, sehingga
menimbulkan peluang yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan praktik penghindaran
pajak.
Perbedaan
dalam keseluruhan beban pajak sangat penting dalam bisnis internasional.
Beragam tarif resmi dari pajak penghasilan merupakan sumber penting
perbedaan-perbedaan tersebut. Namun, perbedaan tarif pajak hanya mengungkapkan
sebagian ceritanya. Banyak pertimbangan lain yang mungkin memengaruhi beban
pajak efektif bagi perusahaan-perusahaan multinasional.
Ketika
semakin banyak perusahaan yang mengurangi tarif pajak perusahaan marginal,
banyak pula negara yang memperluas dasar pajak perusahaan. Dalam dunia nyata
tarif pajak efektif jarang sekali sama dengan tarif pajak nominal. Dengan
demikian tidaklah tepat untuk mendasarkan perbandingan antarnegara pada tarif
pajak wajib saja. Lagi pula tarif pajak yang rendah tidak selalu berarti beban
pajak yang lebih rendah. Secara internasional beban pajak harus selalu
ditentukan dengan mengamati tarif pajak efektif.
Menurut
Richardson dan Lanis dalam Haryadi (2012), tarif pajak efektif merupakan perbandingan
antara pajak rill yang dibayar oleh perusahaan, dengan laba komersial sebelum
pajak. Dengan adanya tarif pajak efektif, maka perusahaan akan mendapatkan
gambaran secara riil bagaimana usaha manajemen pajak perusahaan dalam menekan
kewajiban pajak perusahaan. Karena apabila perusahaan memiliki persentase tarif
pajak efektif yang lebih tinggi dari tarif yang ditetapkan maka perusahaan
kurang maksimal dalam memaksimalkan insentif-insentif perpajakan yang ada,
karena dengan perusahaan memanfaatkan insentif perpajakan yang ada maka dapat
memperkecil persentase pembayaran pajak dari laba komersial (Haryadi, 2012
dalam Darmadi, 2013).
1.3
Sistem
Administrasi Pajak
Menurut
Edy Suandy dalam Irawan dan Khairani (2013) sistem perpajakan terdiri dari tiga
unsur, yakni kebijakan perpajakan (Tax
Policy), undang-undang pajak (Tax
Law) dan administrasi perpajakan (Tax
Administration). Lumbantoruan (1997) dalam Candra.et al (2003) mendefinisikan
administrasi pajak sebagai cara-cara atau prosedur pengenaan dan pemungutan
pajak. Dalam arti sempit, administrasi perpajakan merupakan penatausahaan dan
pelayanan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban pembayar pajak, baik
penatausahaan dan pelayanan yang dilakukan di kantor pajak maupun ditempat
wajib pajak. Dalam arti luas, administrasi perpajakan dipandang sebagai fungsi,
sistem, dan lembaga.
Sistem
penilaian pajak nasional juga memengaruhi beban pajak relatif. Menurut Choi dan
Meek (2010) beberapa sistem yang penting digunakan saat ini ialah berupa sistem klasik dan sistem terintegrasi. Apabila berdasarkan sistem
klasik, pajak penghasilan perusahaan atas
penghasilan kena pajak dikenakan pada tingkat perusahaan dan tingkat pemegang
saham. Pemegang saham dikenakan pajak saat laba perusahaan dibayarkan sebagai
dividen atau pada saat mencairkan investasi. Ketika suatu perusahaan
dikenakan pajak atas laba yang diukur sebelum dilakukan pembayaran dividen,
pemegang saham kemudian dikenakan pajak atas dividen yang mereka terima, maka
pendapatan dividen pemegang saham secara efektif telah dikenakan pajak sebanyak
dua kali.
Sedangkan
apabila berdasarkan sistem terintegrasi, pajak
perusahaan dan pemegang saham terintegrasi sedemikian rupa sehingga mengurangi
atau mengeliminasi pengenaan pajak berganda atas pendapatan perusahaan. Kredit
pajak atau sistem imputasi merupakan jenis sistem pajak terintegrasi yang umum.
Sistem ini, pajak dikenakan terhadap pendapatan perusahaan, tetapi segian dari
pajak yang dibayarkan dapat diperlakukan sebagai kradit terhadap pajak
penghasilan pribadi jika dividen dibagikan kepada para pemegang saham. Sistem pemisahaan tarif
merupakan jenis sistem pajak terintegrasi yang lain, di mana pajak yang lebih
rendah dikenakan atas laba yang dibagikan (dividen) dan bukan berdasarkan laba
ditahan.
2.
Pajak dari
Sumber Penghasilan Asing dan Pajak Berganda
Setiap
negara menyatakan hak atas pajak terhadap laba yang dihasilkan di dalam negaranya.
Hal tersebut selaras dengan pendapat Huala Adolf (2002) yang menayatakan
kedaulatan territorial dibutuhkan oleh suatu negara untuk menjalankan yuridiksi
ekslusif di wilayahnya. Yuridiksi ekslusif berkaitan dengan urusan-urusan
domestic suatu negara, seperti urusan yuridiksi negara dalam hal perpajakan,
perumahan, sistem pemerintah dan urusan-urusan ketatanegaraan lainnya. Namun,
filosofi-filosofi nasional atas pengenaan pajak terhadap sumber-sumber dari
luar negeri itu berbeda-beda dan ini merupakan hal yang penting dari sudut
pandang seorang perencana pajak.
2.1
Kredit
Pajak Asing
Kredit
pajak asing bisa dihitung sebagai kredit langsung atas pajak penghasilan yang
dibayarkan atas laba cabang atau anak perusahaan dan setiap pajak yang dipungut
pada sumbernya seperti deviden, bunga, dan royalti yang dikirimkan kembali
kepada investor domestik (Choi dan Meek, 2010). Kredit pajak juga dapat
diperkirakan jika jumlah pajak penghasilan luar negeri yang dibayarkan tidak
terlampau jelas.
2.2
Batasan-batasan
Kredit Pajak
Untuk
mencegah kredit pajak asing yang menutupi pajak-pajak atas penghasilan
bersumber domestik, banyak negara yang menetapkan batasan menyeluruh pada
jumlah pajak asing yang bisa dikreditkan setiap tahun. Amerika Serikat,
misalnya, membatasi kredit pajak hingga pada proporsi pajak Amerika Serikat
yang setara dengan rasio penghasilan bersumber asing kena pajak dari pembayar
pajak hingga penghasilan kena pajak global pada tahun tersebut.
Menurut
Choi dan Meek (2010) batasan-batasan kredit asing yang terpisah berlaku untuk
pajak-pajak Amerika Serikat pada penghasilan bersumber asing kena pajak dari
masing-masing jenis penghasilan berikut:
- Penghasilan pasif (misalnya, penghasilan berjenis investasi, seperti deviden, bunga, royalti, dan biaya sewa).
- Penghasilan umum (semua jenis lainnya).
2.3
Perjanjian
Pajak
Walupun
kredit pajak asing melindungi penghasilan bersumber asing dari pajak ganda
(pada beberapa tingkatan), perjanjian pajak bisa lebih jauh. Para penanda
tangan perjanjian tersebut biasanya setuju mengenai bagaimana pajak dan isentif
pajak akan ditetapkan, dihormati, dibagi, atau bahkan dihilangkan dari
pengasilan bisnis yang didapatkan dalam salah satu yuridiksi pajak oleh
masayarakat atau orang lain. Jadi, sebagian besar perjanjian pajak antara negara
penyelenggara dan negara asal menetapkan bahwa laba yang didapatkan oleh
perusahaan domestik di negara penyelenggraa harus terkena pajak hanya jika
perusahaan tersebut bisa menjaga perusahaannya di sana. Perjanjian pajak juga
mempengaruhi pajak pungutan atas deviden, bunga dan royalti yang dibayarkan
oleh perusahaan di suatu negara kepada pemegang saham asing. Perjanjian ini
biasanya memberikan pengurangan timbal balik atas pajak pungutan deviden dan
seringkali mengecualikan royalti dan bunga dari pajak pungutan (Choi dan Meek,
2010).
3.
Dimensi-Dimensi
Perencanaan Pajak
Perencanaan
pajak adalah kegiatan pertama yang dilakukan oleh perusahaan dalam rangka
melakukan manajemen pajak. Dalam perencanaan pajak, perusahaan mulai
mengumpulkan dan menganalisis peraturan perpajakan agar dapat dipilih tindakan
(Habibi, 2015) yang perlu dilakukan untuk menghemat beban pajak. Dalam
perencanaan pajak, perusahaan-perusahaan multinasional memiliki keuntungan yang
nyata atas perusahaan-perusahaan domestik karena memiliki lebih banyak
fleksibilitas geografis dalam menempatkan sistem produksi dan distribusi
mereka. Menurut Choi dan Meek 92010) pengamatan atas masalah perencanaan pajak
dimulai dengan dua hal dasar yaitu:
- Pertimbangan pajak seharusnya tidak pernah mengendalikan strategi usaha/bisnis. Kekuatan keuangan atau operasional dari transaksi bisnis harus berdiri sendiri.
- Perubahan hukum pajak secara konstan membatasi manfaat perencanaan pajak dalam jangka panjang
3.1
Pertimbangan
Organisasional
Dalam
mengenakan pajak kepada penghasilan bersumber asing, banyak yurisdiksi
perpajakan yang berfokus pada susunan organisasional dari suatu operasi asing.
Sebuah cabang biasanya dianggap sebagai perluasan dari perusahaan induk. Maka,
penghasilannya langsung digabungkan dengan penghasilan dari perusahaan induk
dan sepenuhnya terkena pajak pada tahun tersebut. Keuntungan dari suatu anak
perusahaan asing biasanya tidak dikenakan pajak hingga keuntungan tersebut
dikembalikan (Choi dan Meek, 2010). Pengecualian pada aturan umum ini dijelaskan
dalam bagian lain.
Jika
operasi awal di luar negeri diperkirakan mengalami kerugian mungkin akan
menguntungkan secara pajak apabila diorganisasikan secara cabang pada tahap
awal. Jika anak perusahaan diorganisasikan di sebuah negara surga pajak yang
tidak mengenakan pajak sama sekali, maka penangguhan pajak akan semakin
terlihat menarik. Namun menurut Waluyo (2008), bagi perusahaan yang mempunyai
cabang-cabang diluar negeri, sesuai dengan penjelasan pasal 4 Undang- Undang
Pajak Penghasilan, tidak dapat mengonsolidasikan kerugian yang diderita cabang
karena laba cabang luar negeri ini selalu dikenakan pajak tanpa memperhitungkan
kerugian.
3.2
Perusahaan
Asing Terkendali dan Penghasilan Subpart F
Ingatlah
bawah di Amerika Serikat, layaknya negara-negara lain yang menggunakan prinsip
perpajakan global, penghasilan anak perusahaan asing tidak kena pajak oleh
perusahaan induk hingga dikembalikan sebagai deviden yang disebut juga prinsip
pengangguhan. Menururt Choi dan Meek (2010), tempat-tempat bebas pajak
memberikan perusahaan-perusahaan multinasional sebuah kesempatan untuk
menghindari repatriasi dan pajak-pajak negara asal dengan menempatkan transaksi
dan mengakumulasi keuntungan dalam anak perusahaan “brassplate”. Transaksi-transaksi
ini tidak memiliki pekerjaan atau tugas yang nyata. Penghasilan yang didapatkan
pada transaksi tersebut bersifat pasif, bukan aktif.
Amerika
Serikat menutup lubang kelemahan ini dengan Perusahaan Luar Negeri yang
dikendalikan dan provisi laba Subbagian F. Laba Subbagian F mencakup beberapa
pendapatan penjualan dan jasa dengan pihak berhubungan istimewa (Choi dan Meek,
2010).
3.3
Keputusan-keputusan
Pembiayaan
Tata
cara dimana operasi-operasi asing dibiayai juga bisa dibentuk oleh
pertimbangan-pertimbangan pajak. Hal-hal lain yang setara, pengurangan pajak
dari utang, yang meningkatkan laba setelah pajak pada ekuitas, meningkatkan
daya pikat pembiayaan utang dalam negara-negara berpajak tinggi. Di mana
peminjaman mata uang lokal dibatasi oleh pemerintah lokal yang memerintahkan
adanya tingkat minimum pada infusi ekuitas oleh perusahaan induk asing,
peminjaman perusahaan induk untuk membiayai infusi modal ini bisa mendapatkan
akhir yang sama, berujung pada yurisdiksi pajak dari perusahaan induk yang
mengizinkan agar bunga bisa didedukasi (Choi dan Meek, 2010).
Perusahaan
afiliasi pendanaan luar negeri juga dapat digunakan untuk mengalihkan laba dari
negara dengan pajak tinggi yang menjadi lokasi induk perusahaan atau perusahaan
afiliasi ke negara yang yurisdiksi pajak rendah tempat perusahaan afiliasi yang
memberikan pendanaan.
3.4 Penyatuan
Kredit Pajak
Penyatuan
penghasilan dari berbagai sumber memungkinkan kelebihan kredit yang dihasilkan
dari negara dengan tarif pajak tinggi untuk mengurangi laba yang diterima dari
wilayah dengan tarif pajak rendah. Kelebihan kredit pajak dapat diperluas untuk
pajak-pajak yang dibayarkan berkaitan dengan, deviden yang dibagikan oleh
perusahaan luar negeri lapis kedua dan ketiga dalam suatu jaringan perusahaan
multinasional.
Kredit
pajak memungkinkan sebuah entitas mengurangi pajak yang harus dibayar ke
pemerintahan domestik sejumlah pajak yang telah dibayarkan ke pemerintah asing
(Santoso, 2010). Kredit merupakan pengurangan langsung atas utang pajak dan
pada derajat tertentu mampu mengurangi pengenaan pajak ganda.
3.5
Alokasi
Akuntansi Biaya
Alokasi
biaya internal diantara perusahaan-perusahaan kelompok merupakan sarana lain
untuk menggeser laba dari negara dengan pajak tinggi negara dengan pajak
rendah. Yang paling umum adalah alokasi beban overhead perusahaan kepada
perusahaan afiliasi di negara-negara dengan pajak tinggi. Alokasi biaya seperti
sumber daya manusia, teknologi, serta penelitian, dan pengembangan akan
memaksimalkan pengurangan pajak untuk perusahaan afiliasi di negara-negara
dengan pajak tinggi (Maitasari, 2012).
3.6
Menyatukan
Perencanaan Pajak Internasional
Menurut
Choi dan Meek (2010), untuk bisa mencapai integrasi perencanaan pajak
internasional, penasihat pajak menyarankan langkah-langkah berikut:
- Mencari advis pajak dalam setiap yurisdiksi yang relevan.
- Mengomunikasikan semua fakta kepada setiap penasihat pajak.
- Menunjuk penasihat pajak tunggal untuk berkoordinasi dan menggabungkan advis dari berbagai yurisdiksi.
- Menjamin bahwa rencana pajak sesuai dengan bisnis. Perencanaan pajak lintas negara yang canggih tidak bisa dibeli begitu saja.
- Menempatkan semua analisis pajak dalam bentuk tulisan.
- Berhati-hati dengan dokumentasi transaksi.
- Mencari advis hukum berkualitas tinggi untuk setiap posisi pajak yang masuk ke dalam area abu-abu atau mungkin dianggap agresif.
- Pertimbangkan bagaimana perasaan Anda jika perencanaan pajak Anda muncul dalam surat kabar lokal.
4. Penetapan
Harga Pengiriman Internasioanal (Variabel-Variabel yang Menyulitkan)
Penetapan
harga pengiriman merupakan sumber yang cukup baru. Penetapan harga di Amerika
Serikat berkembang seiring dengan gerakan desentralisasi yang mempengaruhi
banyak bisnis Amerika selama paruh pertama abad ke-20. Variabel-variabel
seperti pajak, tarif, persaingan, tingkat inflasi, nilai mata uang, pembatasan
pengiriman dana risiko politik dan ketertarikan mitra usaha patungan sangat
menyulitkan pengambilan keputusan untuk penetapan harga pengiriman (Choi dan
Meek, 2010).
4.1
Pertimbangan-pertimbangan
Pajak
Jika
tidak ditiadakan oleh undang-undang, keuntungan perusahaan bisa dtingkatkan
dengan menetapkan harga pengiriman untuk memindahkan keuntungan dari anak
perusahaan yang berlokasi di negara-negara yang berpajak tinggi ke anak
perusahaan yang berlokasi di nergara-negara berpajak rendah. Pengiriman intra
perusahaan didasarkan pada harga transfer. Harga terjaga adalah salah satu
pihak yang tidak terkait akan menerima barang sama atau serupa dalam situasi
yang sama atau serupa. Menurut Choi dan Meek (2010) metode-metode penetapan
harga terjaga meliputi:
- Penetapan harga otomatis yang sebanding
- Penetapan harga jual kembali
- Penetapan harga untuk biaya tambahan
- Metode-metode penetapan harga lainnya
Persetujuan
umum yang muncul diantara pemerintah memandang penetapan harga yang terjaga
sebagai standar yang tepat dalam menghitung keuntungan untuk tujuan pajak.
Namun negara-negara memiliki pandangan berbeda dalam menafsirkan dan
mengimplementasikan penetapan harga terjaga. Metode ini merupakan konsep tidak
tetap secara internasional.
Otoritas
pajak diseluruh dunia sedang menyusun aturan-aturan mengenai penetapan harga
pengiriman yang baru dan meningkatkan daya upaya. Penetapan harga pengiriman
tersebut adalah harga transfer. Dan harga transfer menjadi beban ketetapan
utama yang dirancang untuk memperkecil perpajakan global yang sering
menyimpangkan sistem control multinasional.
Ketika
setiap cabang perusahaan dinilai sebagai pusat keuntungan tersendiri, kebijakan
ketetapan harga tersebut bisa menghasilkan ukuran performa yang menyimpang
dimana pada umumnya menjadi konflik antara target perusahaan pusat dan cabang.
4.2
Perhitungan
Tarif
Tarif
barang-barang impor juga mempengaruhi kebijakan penetapan harga transfer
perusahaan multinasional. Jika sebuah perusahaan mengekspor barang kepada
cabang perusahaannya yang berdomisili disebuah negara bertarif pajak tinggi
bisa mengurangi beban tarifnya, dengan menekan harga barang dagangan yang
dikirim kesana (Choi dan Meek, 2010).
4.3
Kontribusi
Akuntansi
Manajemen
akuntan bisa berperan signifikan dalam mengukur sasaran dalam strategi
penetapan harga transfer. Rintangan adalah menjaga perspekti global ketika
memetakan keuntungan dan biaya yang sesuai dengan keputusan harga transfer.
Pertama yang terjadi adalah dampaknya pada keputusan dalam sistem perusahaan.
Mengukur
sejumlah kesepakatan adalah sulit karena pengaruh lingkungan yang harus
diperhitungkan secara kelompok tidak secara individu. Satu hal yang jelas
adalah perhitungan dangkal tentang dampak kebijakan harga transfer tinggi pada
masing-masing unit dalam sistem multinasional yang tidak dapat diterima (Choi
dan Meek, 2010).
5.
Metodologi
Penentuan Harga Transfer
Dalam
suatu dunia dengan pasar yang sangat kompetitif, tidak akan menjadi masalah
besar ketika hendak menetapkan harga transfer sumber daya dan jasa
antarperusahaan. Menurut Garrison, Noreen and Brewer
(2007) mendefinisikan transfer pricing
sebagai harga yang dibebankan jika satu segmen perusahaan menyediakan
barang atau jasa kepada segmen lain dari perusahaan yang sama.
Harga
transfer dapat didasarkan pada biaya selisih kenaikan atau harga pasar. Harga
pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan jasa sesuai
kesepakatan antara penjual dan pembeli (Aisyah, 2015). Harga pasar menunjukkan
peluang biaya dengan suatu pemindahan yang tidak menjual diluar pasar, dan
kegunaan mereka akan mendorong efisiensi kegunaan dari sumber-sumber perusahaan
yang jarang digunakan. Kegunaan mereka juga disebut konsisten dengan orientasi
pusat laba terdesentralisasi. Harga pasar juga menentukan mana usaha yang dapat
menguntungkan dengan usaha yang tidak menguntungkan dan lebih mudah untuk
mempertahankan otoritas perpajakan sebagai rentangan harga atau laba.
Keuntungan
dari pasar berbasis harga transfer harus dititik beratkan pada beberapa
kelemahan, salah satunya adalah penggunaan harga transfer tidak memberikan
perusahaan keleluasaan untuk menentukan harga untuk tujuan atau strategi
persaingan. Masalah yang lebih mendasar lagi adalah seringnya tidak ada pasar
menengah untuk produk atau servis yang meragukan. Dalam perusahaan
multinasional transaksi dimana perusahaan independen tidak bertanggung jawab,
seperti mengirim sebuah barang berharga, sangat mengandalkan teknik dari cabang
perusahaan. Menurut Choi dan Meek (2010) biaya berbasis harga transfer
menghasilkan banyaknya keterbatasan, karena:
- Mudah digunakan.
- Berdasarkan data yang sudah ada.
- Mudah menentukan otoritas pajak.
- Bersifat rutin, dengan demikian membantu menghindari keretakan internal.
5.1
Prinsip Arm’s-Lenght
PER
43/PJ/2010 menyebutkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle/ALP) merupakan
prinsip yang mengatur bahwa, apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sama atau sebanding, dengan
kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi
yang dilakukan antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus sama
dengan, atau berbeda dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubngan istimewa yang menjadi
pembanding
Berdasarkan
pada prinsip arms length, dimana harga transfer perusahaan seolah olah terjadi
antara pihak yang tidak berhubungan dalam pasar kompetitif. Menurut Choi dan
Meek (2010) beberapa metode basar dalam menetapkan harga berdasarkan arms
price adalah metode harga
penjualan ulang, metode penetapan biaya lebih dan metode pembagian keuntungan.
5.2
Metode
Harga Penjualan Ulang/Kembali
Metode
harga penjualan kembali (resale price
method/RPM) adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan
membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga jual kembali produk
tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aser dan
risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak
mempunyai hubungan istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam
kondisi wajar (Maitasari, 2012).
Metode
ini menghitung sebuah harga arms length
yang diawali dengan harga penjualan akhir dimana barang disebutkan dijual ke
partai bebas. Margin yang tidak tepat untuk menutupi pengeluaran dan profit
normal kemudian diambil dari harga ini untuk memperoleh harga transfer antar
perusahaan (Choi dan Meek, 2010). Berdasarkan OECD Transfer Pricing Guidelines (2010), RPM biasanya paling sesuai diterapkan untuk menentukan harga produk
yang ditransfer ke bagian pemasaran, dan/ distribusi yang tidak menambah nilai
produk secara subtansial dengan mengubah produk, atau tidak memberikan
kontribusi nilai secara berwujud maupun tidak berwujud setelah barang diterima
hingga dijual kembali.
5.3
Metode
Penetapan Biaya Lebih (Cost Plus)
Metode
biaya plus adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan
menambah tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama, dari
transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau tingkat laba
kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain, dari transaksi sebanding dengan
pihak yang tidak mempunyai hubngan istimewa, pada harga pokok penjualan yang
telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Maitasari, 2012).
Metode
ini dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan bekerja maju dimana kenaikan
harga ditambahkan untuk biaya transfer cabang perusahaan dalam mata uang lokal.
Menurut Choi dan Meek (2010) kenaikan harga biasanya mencakup :
- Menghubungkan biaya keuangan yang berkaitan dengan biaya tambahan ekspor, piutang dan aset yang digunakan.
- Persentase biaya yang menutupi produksi, distribusi, pergudangan, pengapalan dan biaya lainnya, yang berhubungan dengan usaha ekspor. Sebuah penyeragaman sering dibuat untuk menggambarkan subsidi pemerintah yang dirancang untuk membuat biaya produksi kompetitif dikancah pasar internasional.
5.4
Metode
Pembagian Keuntungan/Laba
Metode
pembagian laba adalah metode penentuan harga transfer berbasis laba
transaksional (transactional profit
method) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi
afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang
memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan
tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa (Maitasari, 2012).
Metode ini digunakan ketika patokan produk
atau pasar tidak ada. Pembagian keuntungan yang dihasilkan pada transaksi
partai yang berkaitan antara cabang perusahaan dalam gaya arms length. Satu perbedaan dalam pendekatan ini metode
perbandingan pembagian keuntungan membagi keuntungan yang dihasilkan oleh
transaksi partai yang berkaitan menggunakan alokasi persentase keuntungan
gabungan dari perusahaan bebas dengan jenis aktivitas dari transaksi yang sama
(Choi dan Meek, 2010).
5.5
Perjanjian
Penetapan Harga Lanjutan
Advance Pricing Agreements (APAs) adalah sebuah mekanisme dimana otoritas
perpajakan dan multinasional dengan sukarela merundingkan metodologi penetapan
harga transfer yang disepakati dan mengikta kedua partai (Choi dan Meek, 2010). Semua perjanjian ini mengurangi
dan menghapus risiko dalam audit penetapan harga transfer, hemat waktu dan uang
untuk multinasional dan otoritas pajak. PER 69/PJ/2010 adalah peraturan jendral
pajak yang mengatur tentang kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreements). Tujuan kesepakatan harga transfer adalah
untuk memberikan sarana kepada wajib pajak guna menyelesaikan permasalahan transfer
pricing. Menurut Maitasari (2012), kesepakatan harga transfer mencakup
perjanjian tertulis antara wajib pajak dan Direktur Jenderal atau anatara
Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak negara lain yang melibatkan wajib
pajak (UU PPh pasal 18 ayat 3a).
5.6
Praktik
Penetapan Harga Transfer
Perusahaan
multinasional dengan sangat jelas memiliki berbagai dimensi seperti ukuran
industri, kebangsaan, struktur organisasi, tingkat keterlibatan internasional,
teknologi, produk atau jasa dan kondisi bersaing. Namun dalam prakteknya banyak
ditemukan keseragaman dalam penetapan harga transfer (Choi dan Meek, 2010).
REVIEW JURNAL
Judul :
Pengaruh Pajak dan Tunneling Incentive pada
Keputusan Transfer Pricing Perusahaan Manufaktur yang Listing di Bursa Efek Indonesia.
Penulis : Ni Wayan Yuniasih, Ni Ketut
Rasmini dan Made Gede Wirakusuma.
Penerbit : Universitas Udayana, Bali.
Riview Jurnal :
1. Latar belakang
Globalisasi menyebabkan perekonomian berkembang tanpa mengenal batas
negara. Perusahaan multinasional akan menghadapi masalah perbedaan pajak yang
berlaku di setiap negara. Persoalan pokok yang dihadapi sehubungan dengan
investasi asing, salah satunya adalah transfer pricing. Para ahli mengakui bahwa transfer
pricing memungkinkan perusahaan untuk menghindari pajak berganda, tetapi
juga terbuka untuk penyalahgunaan. Hal ini dapat digunakan untuk mengalihkan
keuntungan ke negara yang tarif pajaknya rendah, dengan memaksimalkan beban,
dan pada akhirnya pendapatan (Pricewaterhouse Coopers, 2009: 15). Secara umum
dugaan transfer pricing dapat dijustifikasi oleh faktor afiliasi (associated
enterprises) atau hubungan istimewa (Bakti; 2002).
Hubungan istimewa dapat mengakibatkan
ketidakwajaran harga, biaya, atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu
transaksi usaha. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan,
dasar pengenaan pajak (tax base) atau biaya dari satu wajib pajak kepada
wajib pajak lain, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak
terutang atas wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.
Selain faktor perpajakan, keputusan untuk melakukan transfer pricing juga
dipengaruhi oleh kepemilikan saham yang terkonsentrasi sehingga timbul konflik
keagenan. Salah satu sebab munculnya konflik keagenan ialah lemahnya
perlindungan hak-hak pemegang saham minoritas, mendorong pemegang saham
mayoritas untuk melakukan tunneling yang merugikan pemegang saham
minoritas (Claessens et al., 2002). Contoh tunneling adalah
berupa transfer ke perusahaan induk yang dilakukan melalui transaksi pihak
terkait atau pembagian dividen. Transaksi pihak terkait lebih umum digunakan
untuk tujuan tersebut daripada pembayaran dividen karena perusahaan yang
terdaftar di Bursa harus mendistribusikan dividen kepada perusahaan induk dan
pemegang saham minoritas lainnya. Pemegang saham minoritas perusahaan yang
terdaftar sering dirugikan ketika harga transfer menguntungkan perusahaan induk
atau pemegang saham pengendali (Lo et al., 2010).
Berdasarkan
latar belakang tersebut maka penelitian ini akan menguji Pengaruh Pajak dan Tunneling Incentive pada Keputusan Perusahaan
untuk Melakukan Transfer Pricing. Penelitian ini menggunakan
perusahaan manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia sebagai sampel.
Sebab perusahaan manufaktur memiliki kaitan intern dengan induk perusahaan
diluar negeri.
2. Teori yang Mendukung
Transfer
pricing adalah harga yang terkandung pada setiap
produk atau jasa dari satu divisi yang di transfer ke divisi yang lain
dalam perusahaan yang sama atau antar perusahaan yang mempunyai hubungan
istimewa. Dalam sebuah penelitian Swenson (2001), ia
menemukan bahwa tarif dan pajak berpengaruh pada insentif untuk melakukan
transaksi transfer pricing. Hal tersebut diperkuat oleh
penelitian Bernard et al., (2006) yang menemukan bahwa, harga transaksi
pihak terkait dan kewajaran berhubungan
dengan tingkat pajak dan tarif impor negara tujuan.
Tunneling
merupakan perilaku manajemen atau pemegang saham
mayoritas yang mentransfer aset dan profit perusahaan untuk kepentingan mereka
sendiri, namun biaya dibebankan kepada pemegang saham minoritas (Zhang, 2004
dalam Mutamimah, 2008). Dalam sebuh penelitian yang dilakukan Lo et al.,
(2010) menemukan bahwa konsentrasi kepemilikan oleh pemerintah berpengaruh pada
keputusan transfer pricing. Penemuan tersebut dibenarkan oleh Aharony et
al., (2010) ia menemukan bahwa tunneling incentive setelah initial
public offering (IPO) berhubungan
dengan penjualan hubungan istimewa sebelum IPO.
3. Metedologi
Penelitian
ini menggunakan data perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia tahun 2008-2010, ditambah dengan kriteria yang ditetapkan sehingga
jumlah sampel akhir sebanyak 106 perusahaan. Berikut ini kriteria yang
ditetapkan:
1. Perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEI selema tahun 2008-2010.
2. Perusahaan
sampel dikendalikan oleh perusahaan asing dengan persentase kepemilikan 20%
atau lebih (sesuai PSAK No. 15).
3. Perusahaan
tidak mengalami kerugian selama periode pengamatan.
Di
samping itu, dalam penelitian ini mengunakan data variabel dependennya berupa transfer pricing, sedangkan variable
independen berupa pajak dan tunneling. Dalam melakukan pengujian,
peneliti membuat hipotesis sebagai berikut:
1) H1: pajak berpengaruh pada keputusan transfer
pricing.
2) H2: Tunneling incentive berpengaruh pada
keputusan transfer pricing.
Di
samping itu pula, peneliti menggunakan teknik analisis regresi logistik (binary logistic regresion). Teknik ini
digunakan karena variable terikat dalam penelitian ini yaitu transfer pricing bersifat dikotomus atau
merupakan variable dummy.
Model
regresi logistik
ditunjukkan dalam persamaan sebagai berikut :
Y = α + ᵝ1
ᵡ1+
ᵝ2
ᵡ2
+ e .....................................(1)
Keterangan:
Y = Transfer pricing
ᵝ1
=
Pajak
ᵝ2 = Tunneling incentive
α = Nilai Y bila X = 0
ᵝ1 - ᵝ2= Koefisien Regresi
e = adalah error atau
sisa (residual)
4. Pembahasan
Berdasarkan Statistik deskriptif
menunjukkan bahwa transaksi hubungan istimewa terjadi pada 78 pengamatan, yang
berarti sebagian besar perusahaan melakukan transaksi transfer pricing. Pengujian
hipotesis dilakukan dengan menggunakan regresi logistik. Sedangkan kelayakan
model regresi dinilai dengan menggunakan Hosmer and Lemeshow’s Goodness of
Fit Test, yang menunjukkan model yang dihipotesiskan fit dengan data.
Besarnya
nilai koefisien determinasi pada model regresi logistik ditunjukkan oleh nilai Nagelkerke
R Square. Nilai Nagelkerke R Square adalah sebesar 0,152 yang
berarti, variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel
independen adalah sebesar 15,2%, sedangkan sisanya sebesar 84,8% dijelaskan
oleh variabel-variabel lain di luar model penelitian.
Di
samping itu Matriks korelasi menunjukkan tidak ada koefisien korelasi antar
variabel yang nilainya lebih besar dari 0,8. Hal ini berarti tidak terdapat
gejala multikolinearitas antar variabel bebas dalam model regresi.
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa pajak dan tunneling incentive berpengaruh
positif pada keputusan transfer pricing. Ini dapat dilihat dari tingkat
signifikansi masing-masing sebesar 0,039 dan 0,030 yang lebih kecil dari 0,05.
5. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pengujian hipotesis, maka dapat disimpulkan bahwa pajak dan tunneling
incentive berpengaruh positif pada keputusan perusahaan untuk melakukan transfer
pricing. Beban pajak yang semakin besar memicu perusahaan untuk melakukan transfer
pricing denga harapan dapat menekan beban tersebut. Transaksi pihak terkait
lebih umum digunakan untuk tujuan transfer kekayaan daripada pembayaran dividen
karena perusahaan yang terdaftar harus mendistribusikan dividen kepada
perusahaan induk dan pemegang saham minoritas lainnya. Kondisi yang unik dimana
kepemilikan saham pada perusahaan publik di Indonesia cenderung terkonsentrasi
sehingga ada kecenderungan pemegang saham mayoritas untuk melakukan tunneling.
Berdasarkan
hasil penelitian ini, kami selaku kelompok X ingin mengutarakan pendapat kami
yaitu Penelitian ini hanya menghasilkan koefisien
determinasi sebesar 15,2%. Oleh karena itu, ada variabel lain yang mungkin
berpengaruh pada keputusan perusahaan untuk melakukan transfer pricing.
Salah satunya adalah mekanisme bonus, dimana ada kecenderungan manajemen
memanfaatkan transaksi transfer pricing untuk memaksimalkan bonus yang
mereka terima jika bonus tersebut didasarkan pada laba (Lo et al.,
2010).
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah,
Sovi Nur. 2015. Analisis Mekanisme Penetapan Harga Jual Dalam Perspektif
Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah (Studi Kasus di Toko Arafah Jl. Perjuangan
Cirebon). Skripsi Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Cirebon.
Choi, Frederick D.S.,
dan Meek, Gary K..
2010. International Accounting Buku-2. Penerbit Salemba
Empat. Jakarta.
Darmadi,
Iqbal Nul Hakim. 2013. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Pajak
dengan Indikator Tarif Pajak Efektif (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur
yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2011-2012).
Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro, Semarang.
Garrison,
Noreen and Brewer. 2007. Akuntansi
Manajerial. Penerbit Salemba Empat. Jakarta.
Habibi.
2015. Pengaruh Karakteristik Corporate Governance dan
Kompensasi Komisaris serta Direksi terhadap Manajemen Pajak.
Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro, Semarang.
Haryadi, Teddy. Pengaruh Intensitas Modal,
Leverage, dan Ukuran Perusahaan terhadap Tarif Pajak Efektif pada Perusahaan
Pertambangan di BEI Tahun 2010-2011. Artikel yang dipublikasikan. 2012.
Huala
Adolf. 2002. Aspek-aspek Negara dalam
Hukum Internasional, Edisi Revisi. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Irawan,
Hasan dan Siti Khairani. 2013. Pengaruh Sistem Administrasi Perpajakan Modern
Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Palembang.
Jurnal Akuntansi.
Kementerian
Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak. 2010. Peraturan Nomor PER 43/PJ/2010 tentang
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib
Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
Kementerian
Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak. 2010. Peraturan Nomor PER 69/PJ/2010 tentang
Panduan Pemeriksaan Kewajaran Transaksi Afiliasi.
Lingga,
Ita Salsalina. 2012. Aspek Perpajakan dalam Transfer Pricing dan
Problematika Praktik Penghindaran Pajak Tax Avoidance.
Zenit. Vol. 1, No. 3, Desember 2012, hal 209-220.
Lumbantoruan,
Sophar. 1997. Ensiklopedi Perpajakan.
Penerbit Erlangga. Jakarta
Maitasari,
Niti Inda. 2012. Penyusunan Transfer Pricing Documentation PT KLM Tahun 2009.
Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok.
Mardiasmo. 2009. Perpajakan.
Andi. Yogyakarta.
Ni Wayan
Yuniasih, Ni ketut Rasmini dan Made Gede Wirakusuma. 2015. “Pengaruh Pajak dsn Tunneling Incentive pada Keputusan Transfer Pricing
Perusahaan Manufaktur yang Listing di Bursa Efek Indonesia”. Universitas
Udayana.
OECD. 2010.
OECD Transfer Pricing Guidelines for
Multinational Entreprises and Tax Administrations. OECD: Edisi 2010.
Rapina, Jerry, dan Yenny
Carolina. 2011. “ Pengaruh Penerapan Sistem Administrasi Perpajakan Modern
Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Survey Terhadap Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Bandung Cibeunying)”. Jurnal Riset Akuntansi Vol. III, No. 2, Oktober 2011.
Resmi. 2009. Perpajakan:
Teori dan Kasus. Salemba Empat. Jakarta.
Santoso, Hendra. F. 2010.
“Akuntansi Internasional”. Jurnal Akuntansi Vol. 10, No. 1, Januari 2010.
Waluyo.
2008. Akuntansi Pajak. Penerbit
Salemba Empat. Jakarta.
Yolina. 2009. Dasar-dasar
Akuntansi Perpajakan. Tabora Media. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar